Senin, 27 Januari 2014

KADIN Sebut Harga BBM RI Sudah Tidak Rasional



Kamar Dagang dan Industri (KADIN) terus menyuarakan aspirasinya mengenai kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dikatakan sudah menggerogoti fiskal Indonesia. KADIN juga menilai harga BBM di Indonesia terlampau murah dibanding Filipina dan Vietnam. Ketua Umum KADIN, Suryo Bambang Sulisto mengatakan, belanja pemerintah untuk subsidi BBM merupakan pengeluaran terbesar di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena hampir menembus Rp 200 triliun per tahun atau melampaui belanja infrastruktur dan belanja pegawai.

"Harga BBM kita sangat murah dan sudah tidak rasional. Akibatnya, membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Kondisi ini menimbulkan krisis kepercayaan pasar bahwa pemerintah dapat mengelola fiskal dengan baik meskipun ekonomi Indonesia berpeluang baik," terang dia dalam Catatan Awal Tahun : Kepemimpinan Ekonomi Baru 2014 di Jakarta, Senin (27/1/2014).

Harga BBM di Filiphina dan Vietnam telah mencapai Rp 15 ribu. Kebijakan subsidi BBM, semakin menimbulkan kekhawatiran berlebihan mengingat anggaran subsidi BBM setiap tahun membengkak seiring dengan peningkatan laju konsumsi. Pemerintah supaya merelokasi anggaran subsidi BBM ke bidang infrastruktur supaya lebih kena sasaran dan mendapatkan manfaar efisiensinya.

Selama ini, Suryo mengakui bahwa mayoritas penikmat BBM bersubsidi adalah masyarakat golongan mampu. Ditambah dengan maraknya kasus penyelundupan dan kebocoran. Coba anggaran subsidi ratusan triliun itu dibagi-bagikan ke pemerintah provinsi (pemprov) sekitar Rp 5 triliun saja untuk membangun infrastruktur, pusat pendidikan, dan kesehatan. Kalau dapat suntikkan dana, dampaknya bisa menggerakkan perekonomian di masing-masing daerah selain penciptaan lapangan kerja.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua LP3ES Kadin Didik J Rachbini menambahkan, pos pengeluaran subsidi BBM telah menggerogoti APBN. Harga BBM yang murah dan kurang rasional telah mengakibatkan peningkatan konsumsi serta tingginya impor BBM. Akibatnya sektor perdagangan mengalami defisit dan menekan neraca transaksi berjalan. Pada akhirnya, kondisi ini menyebabkan krisis nilai tukar dan pasar saham yang merupakan pertanda kegagalan dalam mengatasi masalah fiskal.

Ref       :

bisnis.liputan6.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar