Tahun lalu (2013) penolakan pembangunan MRT dari para pedagang di jalan
Fatmawati Jakarta Selatan. Mereka mengemukakan dalam demonstrasi dan kampanye
di media online termasuk di You Tube, kalau dibangun MRT di atas jalan
Fatmawati, usaha mereka akan bangkrut, akan terjadi banjir, kumuh dan
sebagainya. Melalui demonstrasi tandingan ditambah kampanye di media online dan
di You Tube, perlawanan para pedagang mengendur dan mudah-mudahan mereka sudah
menerima pembangunan MRT yang amat diperlukan masyarakat DKI Jakarta pada
khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang sering berkunjung ke
ibukota negara Republik Indonesia. Apa yang dilakukan para pedagang dengan
tidak meneruskan penolakan terhadap pembangunan MRT yang melintasi jalan
Fatmawati, merupakan wujud partisipasi masyarakat, karena pembangunan Jakarta
Baru, yang menjadi tema kampanye Jokowi dan Ahok dalam pemilukada DKI Jakarta,
tidak mungkin terwujud tanpa partisipasi atau keikut-sertaan masyarakat.
MRT Merupakan Keniscayaan Pembangunan MRT di DKI Jakarta merupakan conditio
sine quanon untuk mengurangi tingkat kemacetan di DKI Jakarta. Melalui
pembangunan MRT dan Monorail, rakyat dipastkan akan berganti menggunakan kendaraan
massal, sehingga tingkat kemacetan akan berkurang karena ada alternatif
angkutan massal yang murah, cepat dan nyaman. DKI Jakarta sebagai ibukota
negara, sebenarnya sudah tertinggal puluhan tahun dari pembangunan MRT dan
Monorail. Singapura saja yang penduduknya hanya sekitar 5 (lima) juta sudah
puluhan tahun memiliki MRT dan Monorail. Begitu juga Malaysia, penduduk Kuala
Lumpur hanya sekitar 2 (dua juta) orang, sudah lama memiliki transportasi
massal seperti Monorail dan MRT. Sementara DKI Jakarta dengan jumlah penduduk
sekitar 11 juta orang pada siang hari, tidak memiliki transportasi massal yang
cukup dan memadai seperti MRT dan Monorail. Oleh karena itu, apresiasi Gubernur
Jokowi dan Wagub Ahok yang berani dan cepat merealisasikan pembangunan MRT dan
Monorail yang sudah puluhan tahun direncanakan, baru di masa kepemimpinan
mereka berdua dilaksanakan pembangunannya.
Proyek MRT Ditolak
Antrean bus di Terminal Lebak Bulus, Jakarta
Untuk merealisasikan pembangunan MRT, maka Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan,
yang selama ini dipergunakan bus Angkutan Kota Antar Provinsi (AKAP) akan
ditutup. Akan tetapi, awak bus, pedagang, pemilik warung, kernet, pengasong,
calo dan preman menolak penutupan terminal tersebut karena merupakan tempat
mereka mencari nafkah. Mereka tetap menganggap solusi dari pemerintah yang
memindahkan bus AKAP ke terminal lain akan mematikan karyawan dan berbagai
pihak yang mencari nafkah di terminal tersebut. Masalah ini sangat serius dan
penting dipecahkan karena menyangkut kehidupan mereka dan keluarganya. Solusi
harus ditemukan melalui musyawarah yang tidak terlalu merugikan dan mematikan
penghidupan mereka, dan pihak-pihak terkait harus menerima hasil musyawarah
dengan lapang dada atas penutupan terminal Lebak Bulus. Pembangunan MRT merupakan
keniscayaan, tetapi juga harus memberi perlindungan dan jaminan terhadap
kehidupan warga yang selama ini mencari nafkah di terminal tersebut.
Usulan Pemecahan Untuk pemecahan terhadap bus-bus AKAP yang biasa
menggunakan Terminal Lebak Bulus, yang akan dialihkan ke berbagai terminal
seperti Terminal Kampung Rambutan, Terminal Pulogadung, dan Terminal Pulo
Gebang, mudah-mudahan merupakan solusi dan jalan keluar (way out), yang
walaupun tidak akan memuaskan 100 persen, tetapi harus disyukuri karena Gubernur
Jokowi memberi pemecahan dan jalan keluar. Adapun pedagang, pemilik warung
nasi, asongan, dan semua yang berkaitan dengan Terminal Lebak Bulus, saya
mengusulkan solusinya. Pertama, para pedagang asongan, pemilik warung nasi, dan
yang terkait kegiatan perdagangan direlokasi diberbagai pasar di DKI Jakarta.
Mereka diberi tempat seperti di Blok G Tanah Abang, diberi kompensasi untuk
beberapa waktu lamanya tidak bayar sewa tempat, diberi modal usaha, diberi
order dari pengadaan barang pemerintah DKI Jakarta, diberi izin usaha, dibina,
dan dipromosikan tempat mereka berdagang.
Kedua, karyawan, kuli panggul, tukang parkir, calo, preman, dan sebagainya
dinventarisir nama-namanya, kemudian dilatih untuk alih profesi dalam berbagai
bidang yang memiliki prospek dan mereka minati. Kalau mau menjadi pedagang
mikro misalnya, dicari kan tempat berdagang yang strategis dan banyak pembeli,
mereka dibantu permodalan, latihan pemasaran, diberi order, dan sebagainya.
Ketiga, warga masyarakat yang terkait dengan pembangunan MRT di Terminal Lebak
Bulus, harus dicerahkan dan disadarkan bahwa pembangunan MRT merupakan
kepentingan seluruh warga DKI Jakarta dan bangsa Indonesia, sehingga mereka
mesti berpartisipasi dengan rela pindah dari Terminal Lebak Bulus ke tempat
lain, yang insya Allah ditempat yang baru, rezeki lebih mudah dan lebih lapang.
Akhirnya, saya optimis dan yakin, jalan keluar bisa ditemukan dalam rangka
penutupan Terminal Lebak Bulus untuk kepentingan pembangunan MRT.
Diharapkan
ditemukannya “Win-win Solution”. Pemilik bus, sopir dan kernetnya menerima
pemindahan terminal operasional, sementara warga yangn mencari penghidupan
diterminal tersebut ditemukan jalan keluar melalui perundingan, sehingga mereka
dapat melanjutkan hidup dan penghidupan. Diharapkan, setelah MRT dibuka, mereka
diberi peluang pertama untuk membuka kegiatan usaha dikawasan MRT, sehingga
pembangunan adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Ref :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar