Kamis, 17 Oktober 2013

Mobil Murah dan Hemat Energi (Low Cost and Green Car/LCGC)


 Kebijakan pemerintah tentang mobil murah dan hemat energi (low cost and green car/LCGC) menuai kontroversi. beberapa pihak setuju dengan hadirnya mobil murah dan hemat energy ini, namun tidak sedikit pula pihak yang menentang kehadirannya.
Alasan Pemerintah menghadirkan mobil murah dan hemat energi (low cost and green car/LCGC) untuk masyarakat menengah
Sebanyak 60 Juta Pemiliki Motor ingin Memiliki Mobil
Pertumbuhan ekonomi Indonesia bergerak sejalan dengan naiknya pendapatan perkapita. Hal ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan energy karena bertambahnya kegiatan komersial, industri, dan mobiltas orang dan barang.
Mobilitas orang dan barang tersebut kemudian menimbulkan kebutuhan akan tersedianya alat transportasi publik dan pribadi yang aman, nyaman, serta ekonomis. Berdasarkan catatan Kemenpera, sebanyak 60 juta pemilik motor mendambakan untuk dapat memiliki mobil dengan harga yang terjangkai serta hemat bahan bakar.

Menghadapi Perdagangan Bebas
Untuk menyikapi persaingan pada era Free Trade Area (FTA) regional ASEAN dan Asia Timur, Kemenperi melihat, industri otomotif Indonesia pun dituntut untuk selalu berinovasi menciptakan kendaraan yang hemat energy dengan harga yang terjangkau untuk keperluan pasar domestik dan ekspor.
Apalagi, negara lain dalam regional FTA, misalnya saja Thailand, Malaysia, China, Jepang , dan Korea telah lebih dulu memproduksi mobil sejenis LCGC. Sehingga, bila tidak memenuhi kebutuhan masyarakat akan kendaraan jenis ini dari dalam negeri, bisa terjadi banjir impor atas kendaraan jenis tersebut.
Selain itu, peluang pasar bebas ini juga harus bisa dimanfaatkan. Produk otomotif yang dibuat di dalam negeri tersebut, nantinya juga harus mampu untuk diekspor.



Menekan Emisi Karbon
Dalam program LCGC ini, industri otomotif disyaratkan untuk membuat kendaraan yang lebih ramah lingkungan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar per kilometer jarak tempuh.
Sebagai perbandinga, saat ini mobil berbahan bakar minyak rata-rata mengkonsumsi 12 km/liter BBM, sementara mobil murah ramah lingkungan mengkonsumsi 20km/liter BBM. Berarti per unti mobil dapa menghemat banak bakar hingga 66%.
Dengan berkurangnya BBM yang dibakar per kilometernya, berarti emisi karbon yang ditinggalakn juga akan lebih sedikit.

Membangun Industri Komponen Otomotif
Program LCGC ini berlaku untuk semua merek otomotif, baik merek lokal maupun internasional. Peserta program diharuskan untuk manufaktur mobil di dalam negeri dengan menggunakan komponen buatan dalam negeri. Sehingga merek otomotif peserta program LCGC ini digiring untuk membangun industri komponen otomotif dalam negei dan meningkatkan kemandirian nasional di bidang teknologi otomotif, terutama teknologi engine, transmisi, dan axle (power train).

Mengurangi Beban Konsumen
Program LCGC mendapatkan insentif untuk mengurangi beban konsumen dengan menghilangkan kewajiban membayar PPnBM, yang tadinya sebesar 10% menjadi 0%. Namun tetap dikenakan PPN sebesar 10% dan Pajak Kendaraan Bermotor di daerah sebesar 10%.
Harga off road LCGC ditetapkan sebesar Rp95 juta, dtiambah toleransi untuk penambahan teknologi transmisi otomatis 15%, dan toleransi penambahan fitur safety  sebesar  10%.




Mendorong Investasi dan Lapangan Kerja
Program LCGC ini diklaim Kemenperin dapat mendatangkan komitmen investasi senilai US$3 Miliar dari industri otomotif dan sebesar US%3,5 Miliar dari sekitar 100 industri komponen baru. Saat ini sendiri, telah dibangin 5 pabrik mobil baru dan sekitar 70 pabrik baru komponen otomotif.
Dengan begitu, dapat mendorong peningkatan kegiatan ekonomi di daerah-daerah serta menciptakan lapangan tenaga kerja baru, terutama di sektor manufakturing.


Kehadiran LCGC disambut gembira oleh masyarakat Indonesia menengah
Memiliki mobil bukan lagi sekedar impian. Antusiasme masyarakat terhadap LGLC sangat tinggi seperti yang terjadi di Kalimantan Barat penjualan Toyota Agya cabang Pontianak, mengatakan, sejak dipasarkan awal September lalu pesanan terhadap mobil ini telah mencapai 247 unit khusus untuk unit yang dibadrol dari harga 110 juta hingga 120 juta, mayoritas pemesan mobil berasal dari Kota Pontianak, dan selebihnya tersebar di kabupaten kota di Kalimantan Barat. Untuk mobil Daihatsu Ayla juga mendapat respons yang positif sejak peluncuran 18 September lalu. Terbukti dengan jumlah pesanan yang telah mencapai angka 20 unit, untuk harga Rp84 juta sampai Rp115 juta. Besarnya respon masyarakat terhadap peluncuran mobil murah ini menjawab kebutuhan masyarakat ekonomi menengah.
Minat masyarakat Kota Semarang untuk memiliki mobil murah tergolong tinggi, hal ini berdasarkan respon publik ketika sejumlah produsen mobil murah di Kota Semarang memamerkan produk mobil murah pada awal bulan September lalu. Respon dari masyarakat Kota Semarang terhadap mobil murah sangat tinggi, terbukti per 2 September pemesanan meningkat tajam.
Hal yang sama terjadi juga di daerah Semarang, Pemesanan mobil murah mencapai 112 unit, jumlah ini belum dihitung dari pemesanan bulan sebelumnya yang mencapai 90 unit dan belum terealisasi. Bahkan para penjual sampai harus mengarahkan konsumennya ke unit lain karena tak mau menunggu lama. Tingginya pemesanan mobil meningkat 100 persen dibanding tahun lalu dan di luar dugaan dari perkiraan perusahaan pemasaran mobil. Tingginya minat publik yang ingin memilki mobil itu menunjukan pertumbuhan ekonomi Kota Semarang meningkat.
Padahal, pajak penambahan nilai (PPN) pembelian mobil di Jawa Tengah mencapai 15 persen, atau lebih tinggi dibanding dengan Jakarta dan Yogyakarta yang hanya 12,5 persen. Pemerintah Jawa Tengah pun belum mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan pajak yang pernah dibahas dengan produsen pada bulan Juni lalu.

Kehadiran mobil murah dan hemat energi (low cost and green car/LCGC) memberikan lebih banyak dampak negatif dari pada dampak positif
Alasan pemerintah menghadirkan mobil murah dinilai tidak masuk akal dan dinilai tidak tepat sasaran. Penolakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang menilai mobil murah akan menambah kemacetan ibukota. Penolakan serupa juga diikuti oleh banyak pihak yang menganggap program mobil murah tidak tepat sasaran. Selain harganya yang tidak bisa dibilang murah bagi kantong sebagian besar masyarakat, program ini juga berlawanan dengan kebijakan pemerintah yang ingin menghemat konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Alhasil, akan menambah beban anggaran pemerintah.
Hal serupa juga disampaikan Anggota Komisi Pembangunan dan Infra Struktur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Semarang menilai, tingginya animo publik di Kota Semarang untuk membeli mobil murah mengancam sarana jalan raya yang semakin macet. akan terjadi penumpukan populasi mobil di Kota Semarang yang pasti kemacetan akan semaikin parah, keberadaan mobil murah akan mengganggu kebijakkan pemerintah Kota Semarang yang sedang menggalakkan penggunaan angkutan umum dalam kota dengan Bus Rapid Transit. Di sisi lain ia menduga keberadaan mobil murah akan menambah beban subsidi bahan bakar minyak yang selama ini digunakan publik.
Negara akan menambah subsidi minyak, dampak berikutnya akan mengurangi dana alokasi umum dari pusat untuk daerah, karena habis buat subsidi BBM, sebanyak 40 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diambilkan dari Dana Alokasi Umum (DAU) oleh pemerintah pusat. Ia menjelaskan dana alokasi umum itu untuk pembangunan infra struktur dan failitas umum. Jadi membeli mobil murah sma saja menggusur failitas publik lainya.

Masalah Sesungguhnya bukan kemacetan dan subsidi BBM
Menurut saya kenapa kehadiran mobil murah ini ketika banyak industriawan lokal bergiat menciptakan mobil nasional (baik mobil BBM maupun mobil listrik)? Kompetensi lokal dalam memanufaktur mobil sudah tidak dipertanyakan lagi. ASTRA sudah puluhan tahun terjun dalam perakitan mobil berbagai merek. Industri karoseri mulai dari mobil biasa hingga bis sudah mampu merakit kendaraan dalam skala besar. Anak-anak bangsa berkemampuan reka-cipta mobil sudah banyak bertebaran di negara ini. Bahkan berbagai macam prototip siap produksi sudah banyak yang dihasilkan. Mengapa dalam kondisi seperti ini tiba-tiba muncul inisiatif LCGC yang (nyaris) keseluruhannya hanya mampu diproduksi oleh raksasa-raksasa Jepang?
Kondisi ini ibarat menelikung di tikungan. Anak-anak bangsa sedang bergerak maju, tiba-tiba ada raksasa dengan resources nyaris tak terbatas datang menghadang. Dengan konstelasi yang ada sekarang, saya sangat tidak yakin inisiatif LCGC betul-betul datang murni dari pemerintah. AFTA bisa direnegosiasi, bahkan produk lokal bisa diberi proteksi. Alasan serbuan produk impor jelas bisa dicegah. Secara vulgar ini nampak seperti ada orang-orang rakus yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Jangan-jangan ini aksi dari lobby industri otomotif Jepang yang telah menguasai pasar Indonesia puluhan tahun?


Ref :
Detik.com
Otosia.com
Tempo.co
Liputan6.com
Infonews.web.id

                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar