Kebijakan pemerintah tentang mobil murah dan hemat
energi (low cost and green car/LCGC)
menuai kontroversi. beberapa pihak setuju dengan hadirnya mobil murah dan hemat
energy ini, namun tidak sedikit pula pihak yang menentang kehadirannya.
Alasan
Pemerintah menghadirkan mobil murah dan hemat energi (low cost and green car/LCGC) untuk masyarakat menengah
Sebanyak 60 Juta Pemiliki
Motor ingin Memiliki Mobil
Pertumbuhan ekonomi Indonesia bergerak sejalan dengan
naiknya pendapatan perkapita. Hal ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan
energy karena bertambahnya kegiatan komersial, industri, dan mobiltas orang dan
barang.
Mobilitas orang dan barang tersebut kemudian
menimbulkan kebutuhan akan tersedianya alat transportasi publik dan pribadi
yang aman, nyaman, serta ekonomis. Berdasarkan catatan Kemenpera, sebanyak 60
juta pemilik motor mendambakan untuk dapat memiliki mobil dengan harga yang
terjangkai serta hemat bahan bakar.
Menghadapi Perdagangan Bebas
Untuk menyikapi persaingan pada era Free Trade Area
(FTA) regional ASEAN dan Asia Timur, Kemenperi melihat, industri otomotif
Indonesia pun dituntut untuk selalu berinovasi menciptakan kendaraan yang hemat
energy dengan harga yang terjangkau untuk keperluan pasar domestik dan ekspor.
Apalagi, negara lain dalam regional FTA, misalnya saja
Thailand, Malaysia, China, Jepang , dan Korea telah lebih dulu memproduksi
mobil sejenis LCGC. Sehingga, bila tidak memenuhi kebutuhan masyarakat akan
kendaraan jenis ini dari dalam negeri, bisa terjadi banjir impor atas kendaraan
jenis tersebut.
Selain itu, peluang pasar bebas ini juga harus bisa
dimanfaatkan. Produk otomotif yang dibuat di dalam negeri tersebut, nantinya
juga harus mampu untuk diekspor.
Menekan Emisi Karbon
Dalam program LCGC ini, industri otomotif disyaratkan
untuk membuat kendaraan yang lebih ramah lingkungan dengan meningkatkan
efisiensi penggunaan bahan bakar per kilometer jarak tempuh.
Sebagai perbandinga, saat ini mobil berbahan bakar
minyak rata-rata mengkonsumsi 12 km/liter BBM, sementara mobil murah ramah
lingkungan mengkonsumsi 20km/liter BBM. Berarti per unti mobil dapa menghemat
banak bakar hingga 66%.
Dengan berkurangnya BBM yang dibakar per kilometernya,
berarti emisi karbon yang ditinggalakn juga akan lebih sedikit.
Membangun Industri
Komponen Otomotif
Program LCGC ini berlaku untuk semua merek otomotif,
baik merek lokal maupun internasional. Peserta program diharuskan untuk
manufaktur mobil di dalam negeri dengan menggunakan komponen buatan dalam
negeri. Sehingga merek otomotif peserta program LCGC ini digiring untuk
membangun industri komponen otomotif dalam negei dan meningkatkan kemandirian
nasional di bidang teknologi otomotif, terutama teknologi engine, transmisi,
dan axle (power train).
Mengurangi Beban Konsumen
Program LCGC mendapatkan insentif untuk mengurangi
beban konsumen dengan menghilangkan kewajiban membayar PPnBM, yang tadinya
sebesar 10% menjadi 0%. Namun tetap dikenakan PPN sebesar 10% dan Pajak
Kendaraan Bermotor di daerah sebesar 10%.
Harga off road LCGC ditetapkan sebesar Rp95 juta,
dtiambah toleransi untuk penambahan teknologi transmisi otomatis 15%, dan
toleransi penambahan fitur safety
sebesar 10%.
Mendorong Investasi dan
Lapangan Kerja
Program LCGC ini diklaim Kemenperin dapat mendatangkan
komitmen investasi senilai US$3 Miliar dari industri otomotif dan sebesar
US%3,5 Miliar dari sekitar 100 industri komponen baru. Saat ini sendiri, telah
dibangin 5 pabrik mobil baru dan sekitar 70 pabrik baru komponen otomotif.
Dengan begitu, dapat mendorong peningkatan kegiatan
ekonomi di daerah-daerah serta menciptakan lapangan tenaga kerja baru, terutama
di sektor manufakturing.
Kehadiran
LCGC disambut gembira oleh masyarakat Indonesia menengah
Memiliki mobil bukan lagi sekedar
impian. Antusiasme masyarakat terhadap LGLC sangat tinggi seperti yang terjadi
di Kalimantan Barat penjualan Toyota Agya cabang Pontianak, mengatakan, sejak
dipasarkan awal September lalu pesanan terhadap mobil ini telah mencapai 247
unit khusus untuk unit yang dibadrol dari harga 110 juta hingga 120 juta, mayoritas
pemesan mobil berasal dari Kota Pontianak, dan selebihnya tersebar di kabupaten
kota di Kalimantan Barat. Untuk mobil Daihatsu Ayla juga mendapat respons yang
positif sejak peluncuran 18 September lalu. Terbukti dengan jumlah pesanan yang
telah mencapai angka 20 unit, untuk harga Rp84 juta sampai Rp115 juta. Besarnya
respon masyarakat terhadap peluncuran mobil murah ini menjawab kebutuhan
masyarakat ekonomi menengah.
Minat masyarakat Kota Semarang untuk memiliki mobil
murah tergolong tinggi, hal ini berdasarkan respon publik ketika sejumlah
produsen mobil murah di Kota Semarang memamerkan produk mobil murah pada awal
bulan September lalu. Respon dari masyarakat Kota Semarang terhadap mobil murah
sangat tinggi, terbukti per 2 September pemesanan meningkat tajam.
Hal yang sama terjadi juga di daerah
Semarang, Pemesanan mobil murah mencapai 112 unit, jumlah ini belum dihitung
dari pemesanan bulan sebelumnya yang mencapai 90 unit dan belum terealisasi. Bahkan
para penjual sampai harus mengarahkan konsumennya ke unit lain karena tak mau
menunggu lama. Tingginya pemesanan mobil meningkat 100 persen dibanding tahun
lalu dan di luar dugaan dari perkiraan perusahaan pemasaran mobil. Tingginya
minat publik yang ingin memilki mobil itu menunjukan pertumbuhan ekonomi Kota
Semarang meningkat.
Padahal, pajak penambahan nilai (PPN) pembelian mobil
di Jawa Tengah mencapai 15 persen, atau lebih tinggi dibanding dengan Jakarta
dan Yogyakarta yang hanya 12,5 persen. Pemerintah Jawa Tengah pun belum
mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan pajak yang pernah dibahas dengan
produsen pada bulan Juni lalu.
Kehadiran
mobil murah dan hemat energi (low cost
and green car/LCGC) memberikan lebih banyak dampak negatif dari pada dampak
positif
Alasan pemerintah menghadirkan mobil murah dinilai tidak
masuk akal dan dinilai tidak tepat sasaran. Penolakan Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo yang menilai mobil murah akan menambah kemacetan ibukota. Penolakan
serupa juga diikuti oleh banyak pihak yang menganggap program mobil murah tidak
tepat sasaran. Selain harganya yang tidak bisa dibilang murah bagi kantong
sebagian besar masyarakat, program ini juga berlawanan dengan kebijakan
pemerintah yang ingin menghemat konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Alhasil,
akan menambah beban anggaran pemerintah.
Hal serupa juga disampaikan Anggota Komisi Pembangunan
dan Infra Struktur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Semarang menilai,
tingginya animo publik di Kota Semarang untuk membeli mobil murah mengancam
sarana jalan raya yang semakin macet. akan terjadi penumpukan populasi mobil di
Kota Semarang yang pasti kemacetan akan semaikin parah, keberadaan mobil murah
akan mengganggu kebijakkan pemerintah Kota Semarang yang sedang menggalakkan
penggunaan angkutan umum dalam kota dengan Bus Rapid Transit. Di sisi lain ia
menduga keberadaan mobil murah akan menambah beban subsidi bahan bakar minyak
yang selama ini digunakan publik.
Negara akan menambah subsidi minyak, dampak berikutnya
akan mengurangi dana alokasi umum dari pusat untuk daerah, karena habis buat
subsidi BBM, sebanyak 40 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
diambilkan dari Dana Alokasi Umum (DAU) oleh pemerintah pusat. Ia menjelaskan
dana alokasi umum itu untuk pembangunan infra struktur dan failitas umum. Jadi
membeli mobil murah sma saja menggusur failitas publik lainya.
Masalah Sesungguhnya bukan
kemacetan dan subsidi BBM
Menurut saya kenapa kehadiran mobil murah ini ketika banyak
industriawan lokal bergiat menciptakan mobil nasional (baik mobil BBM maupun
mobil listrik)? Kompetensi lokal dalam memanufaktur mobil sudah tidak
dipertanyakan lagi. ASTRA sudah puluhan tahun terjun dalam perakitan mobil
berbagai merek. Industri karoseri mulai dari mobil biasa hingga bis sudah mampu
merakit kendaraan dalam skala besar. Anak-anak bangsa berkemampuan reka-cipta
mobil sudah banyak bertebaran di negara ini. Bahkan berbagai macam prototip
siap produksi sudah banyak yang dihasilkan. Mengapa dalam kondisi seperti ini
tiba-tiba muncul inisiatif LCGC yang (nyaris) keseluruhannya hanya mampu
diproduksi oleh raksasa-raksasa Jepang?
Kondisi ini ibarat menelikung di tikungan. Anak-anak bangsa sedang
bergerak maju, tiba-tiba ada raksasa dengan resources nyaris tak terbatas
datang menghadang. Dengan konstelasi yang ada sekarang, saya sangat tidak yakin
inisiatif LCGC betul-betul datang murni dari pemerintah. AFTA bisa
direnegosiasi, bahkan produk lokal bisa diberi proteksi. Alasan serbuan produk
impor jelas bisa dicegah. Secara vulgar ini nampak seperti ada orang-orang
rakus yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Jangan-jangan ini aksi
dari lobby industri otomotif Jepang yang telah menguasai pasar Indonesia
puluhan tahun?
Ref :
Detik.com
Otosia.com
Tempo.co
Liputan6.com
Infonews.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar