I.
Pengertian
Manajemen
laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba,
termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajer. Scott (2000) dalam
Rahmawati dkk. (2006) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua,
yaitu :
1.
Melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk
memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang,
dan political costs (opportunistic
earnings management).
2.
Kedua, dengan memandang manajemen
laba dari perspektif efficient
contracting (efficient earnings management), dimana manajemen laba
memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan
dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan
pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat
mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan
membuat perataan laba (income
smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
Pengertian
Manajemen Laba menurut ahli, yaitu :
1. Manajemen
laba menurut Schipper (1989) dalam Rahmawati dkk. (2006) yang menyatakan bahwa
manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses
pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat
(sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses tersebut).
2. Manajemen
laba menurut Assih dan Gudono (2000) manajemen labaadalah suatu proses yang
dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Addopted Accounting Principles
(GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan.
3. Manajemen
laba menurut Fischer dan Rozenzwig (1995) manajemen labaadalah tindakan manajer
yang menaikkan (menurunkan) laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi
tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan atau penurunan
profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.
4. Manajemen
laba menurut Healy dan Wallen (1999) manajemen laba terjadi ketika manajer
menggunakan judgement dalam laporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk
mengubah laporan keuangan, sehingga menyesatkan stakeholderstentang kinerja
ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan
kontrak yang tergantung pada angka akuntansi.
5. Menurut
Davidson, Stickney dan Weil dalam Sulistyanto (2008), manajemen laba merupakan
proses untuk mengambil langkah tertentu yang disengaja dalam batas-batas
prinsip akuntansi yang diterima umum untuk menghasilkan tingkat yang diinginkan
dari laba yang dilaporkan.
6. National
Association of Certified Fraud Examimers dalam Sulistyanto (2008),
mendefinisikan manajemen laba sebagai kesalahan atau kelalaian yang disengaja
dalam membuat laporan mengenai fakta material atau data akuntansi sehingga
menyesatkan ketika semua informasi itu dipakai untuk membuat pertimbangan yang
akhirnya akan menyebabkan orang yang membacanya akan mengganti atau mengubah
pendapat atau keputusannya.
Dari beberapa
pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan
permainan manajerial untuk memanipulasi laporan keuangan dengan mengatur besar
kecilnya laba perusahaan demi kepentingan pribadi. Sementara itu Davin (2005)
menyebutkan bahwa terdapat tujuh permainan manajerial untuk memanipulasi
laporan keuangan yaitu dengan jalan mencatat pendapatan terlalu cepat, mencatat
pendapatan palsu, mengakui pendapatan lebih cepat satu periode, mengakui biaya
periode berjalan menjadi biaya periode sebelum atau sesudahnya, tidak
mengungkapkan semua kewajibannya, mengakui pendapatan periode berjalan menjadi
pendapatan periode sebelumnya dan mengakui pendapatan masa depan menjadi
pendapatan periode berjalan.
II.
Faktor
Pendorong Manajemen Laba
Dalam Positif Accounting Theory terdapat
tiga faktor pendorong yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan
Zimmerman, 1986), yaitu:
1. Bonus
Plan Hypothesis
Manajemen
akan memilih metode akuntansi
yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang
memberikan bonus besar berdasarkan laba
lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang
dilaporkan.
2. Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan
pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki
dampak meningkatkan laba (Sweeney, 1994 dalam Rahmawati dkk, (2006). Hal ini
untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
3. Political Cost Hypothesis
Semakin besar
perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode
akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang
tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya: mengenakan
peraturan antitrust, menaikkan
pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain.
III.
Model
Empiris Manajemen Laba
Sulistyanto
(2008) menyebutkan secara umum terdapat tiga kelompok model empiris manajemen
laba yang diklasifikasikan atas dasar basis pengukuran yang digunakan yaitu
model yang berbasis akrual agregat (aggregate accruals), akrual khusus
(specific accruals) dan distribusi laba (distribution of earnings).
1. Model
berbasis akrual agregat (aggregate accruals)
Merupakan model yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas rekayasa dengan
menggunakan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model ini
pertama kali dikembangkan oleh Healy, DeAngelo dan Jones. Selanjutnya Dechow,
Sloan dan Sweeney mengembangkan model Jones menjadi model yang dimodifikasi
(modified Jones Model). Model ini menggunakan total akrual dan model regresi
untuk menghitung akrual yang diharapkan (expected accruals) dan akrual
yang tidak diharapkan (unexpected accruals).
2. Model
akrual khusus (specific accruals)
Merupakan pendekatan yang menghitung akrual sebagai proksi manajemen laba
dengan menggunakan item atau komponen laporan keuangan tertentu dari industri
tertentu. Misalnya piutang tak tertagih dari sektor industri tertentu atau
cadangan kerugian piutang dari industri asuransi.
.
3. Model
distribusi laba (distribution of earnings)
Pendekatan ini dikembangkan dengan melakukan pengujian secara statistik
terhadap komponen-komponen laba untuk mendeteksi faktor-faktor yang
mempengaruhi pergerakan laba. Model ini terfokus pada pergerakan laba disekitar
benchmack yang dipakai, misalkan laba kuartal sebelumnya. Untuk menguji apakah
incidence jumlah yang berada di atas maupun di bawah bencmark telah didistribusikan
secara merata atau merefleksikan ketidak berlanjutan kewajiban untuk
menjalankan kebijakan yang telah dibuat.
IV.
Motivasi
Manajemen Laba
Scott (200:
302) dalam Rahmawati dkk. (2006) mengemukakan beberapa terjadinya motivasi
manajemen laba, yaitu :
1.
Bonus Purposes ; Manajer
yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara
oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini
(Healy, 1985 dalam Rahmawati dkk, (2006).
2.
Political Motivation ; Manajemen
laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik.
Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan
publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
3.
Taxation Motivation ; Motivasi
penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai
metode akuntansi digunakan dengan tujuan untuk penghematan pajak pendapatan.
4.
Pergantian CEO ; CEO yang mendekati masa pensiun akan
cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika
kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak
diberhentikan.
5.
Initial Public Offering (IPO) ; Perusahaan
yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan
manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dengan
harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.
6.
Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor ; Informasi mengenai kinerja
perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu
disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja
yang baik.
Sedangkan
Healy dan Wahlen (1999) dalam Firdaus (2007) membagi motivasi manajemen laba ke
dalam tiga kelompok yaitu :
1. Motivasi
Pasar Modal (capital market motivation)
Motivasi
manajemen laba karena alasan pasar modal lebih banyak
disebabkan oleh adanya anggapan umum bahwa angka-angka akuntansi, khususnya
laba merupakan salah satu sumber informasi penting yang digunakan oleh investor
dalam menilai harga saham. Sehingga tidak mengherankan kalau ada sebagian
manajer yang berusaha membuat laporan keuangannya tampak baik dengan maksud
untuk mempengaruhi kinerja saham dalam jangka pendek. Manajemen cenderung
melaporkan laba bersih lebih rendah (understate) ketika
melakukan buy out dan melaporkan laba lebih tinggi (overstate)
ketika melakukan penawaran saham ke publik.
2. Motivasi
Kontrak (contracting motivation)
Motivasi
kontrak atas terjadinya manajemen laba dikaitkan dengan penggunaan data
akuntansi dalam memonitor dan meregulasi kontrak atas perusahaan dan
pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders). Secara eksplisit
maupun implisit, kontrak-kontrak yang berjenis kompensasi manajemen banyak
dikaitkan dengan kinerja keuangan perusahaan. Ada alasan khusus yang
menyebabkan mengapa manajemen laba terjadi dalam konteks kontrak yaitu baik
kreditor maupun komite kompensasi yaitu komite yang menyiapkan berkas kontrak
antara manajer perusahaan, merasa bahwa upaya mengungkapkan ada tidaknya
manajemen laba adalah upaya yang mahal dan membutuhkan waktu. Kondisi ini
seakan menjadi pendorong bagi manajer untuk melakukan manajemen laba.
3. Motivasi
Peraturan (regulation motivation)
Bagi para
penetap standar (standar settere), perhatian terhadap manajemen laba
menjadi penting karena manajemen laba apapun alasannya dapat mengarah kepada
penyajian pelaporan keuangan yang tidak benar (misleadin) dan akhirnya
dapat mempengaruhi alokasi sumber daya yang ada. Manajer dapat memanipulasi
laba dengan berbagai cara, baik yang secara langsung berpengaruh terhadap
keputusan operasi, pembiayaan, investasi maupun dalam bentuk pemilihan
prosedur akuntansi yang
diperbolehkan dalam prinsip akuntansi berterima
umum.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar